Judgement Day
Judgement Day
Namaku Kevin bukan salahku kalau aku terlahir berbeda dari yang lain. Kalau aku bisa memilih lebih baik aku tidak pernah dilahirkan. Setidaknya itu kata hati kecilku, satu-satunya unsur kebaikan yang tersisa dalam diriku.
Aku berasal dari keluarga warga keturunan yang minoritas di negeri ini. Ayahku pengusaha yang berhasil dan cukup kaya. Aku kira cukup beralasan mengingat dia memiliki beberapa toko elektronik di Mangga Dua serta beberapa toko kelontong yang tersebar di kawasan Pisangan, Kelapa Gading dan Pasar Baru. Disamping itu ia adalah pemilik sebuah bengkel yang cukup besar di daerah Kemayoran. Kami sekeluarga tinggal di kawasan Pantai Mutiara Pluit. Aku adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki di keluargaku. Kakak laki-laki tertuaku meninggal waktu masih SMA sekitar lima tahun lalu. Keluargaku jauh dari harmonis. Ayah bagiku lebih mirip diktator yang kejam serta berhati dingin. Ibu dan saudara-saudara perempuanku pun tidak jauh berbeda. Di dalam keluarga aku dianggap anak pembawa sial. Aku tidak tahu apa sebabnya demikian, yang jelas kakak tertuaku yang sudah meninggal merupakan putra kesayangan ayah dan ibu, juga idola buat saudari-saudariku yang lain. Semenjak kematiannya keadaanku semakin memburuk karena bila terjadi hal-hal yang kurang baik dalam keluargaku, maka akulah yang dianggap sebagai penyebab.
Sejak kecil aku akrab dengan sumpah serapah bahkan kutukan dari orang tuaku maupun saudara-saudaraku yang lain. Pukulan badan menjadi makanan sehari-hari bahkan untuk kesalahan yang paling sepele sekalipun. Akan tetapi secara keuangan aku tercukupi dan aku mulai terbiasa bahkan menyukainya. Siapa butuh keluarga bila kita punya uang? itu yang ada dalam pikiranku. Sadar atau tidak sadar aku memupuk dendam. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana membalas segala perlakuan ini. Yang jelas aku menikmati perasaan dendam dan amarah dalam batinku. Ayah bagiku adalah iblis yang selalu menghalangi jalanku. Dalam hatiku aku berharap agar dia segera lenyap dari dunia ini. Ibu bagiku bagaikan wanita yang tidak tahu diri dan hanya mabuk dalam kesenangannya akan kemewahan. Sedangkan kakak dan adik perempuanku ibarat pelacur-pelacur binal yang mencari muka pada sang iblis demi kepuasan dan kemanjaan mereka. Semuanya berjalan seperti itu sampai pertengahan bulan Mei tahun 1998. Aku menyebutnya sebagai Hari Penghakiman.
Saat itu usiaku 21 tahun dan masih kuliah di sebuah PTS di Jakarta Barat. Aku ingat saat itu terjadi kerusuhan di Jakarta dan keadaan sedang panik. Aku tinggal di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah warga keturunan yang saat itu sedang dilanda ketakutan yang amat sangat. Beberapa tetangga telah mengungsi, tapi ayahku dengan sifat arogannya (seperti biasa) bersikeras untuk tetap tinggal di rumah. Dia berkata kalau dia sudah menghubungi kenalannya seorang yang berpangkat di militer untuk melindungi daerah tempat tinggal kami. Nyatanya itu adalah arogansinya yang terakhir.
Saat itu pukul setengah sebelas malam, ketika aku terbangun karena suara gaduh di rumahku. Bibir dan mataku masih lebam dan kakiku masih terpincang-pincang bekas di pukul ayahku dengan raket tenisnya karena malam sebelumnya aku keluar membawa mobil Mercedes Benz kesayangannya. Aku mendengar suara teriakan dari luar. Salah satu suara yang kukenali adalah suara ciciku yang kamarnya satu lantai denganku di lantai atas. Terdengar juga suara bentakan yang keras. Jelas bukan suara bentakan ayahku yang kudengar. Dengan tertatih-tatih aku segera membuka pintu menuju arah suara itu. Alangkah terkejutnya ketika di depan pintu kulihat seseorang pria berbadan kekar dengan menggenggam parang di tangannya maju ke arahku. Saat itu seluruh persendianku lemas dan aku hanya menunduk menutupi wajahku ketika dia mendekat. Saat itu kematian begitu dekat bagiku, bahkan aromanya dapat tercium hidungku. Kutunggu pria itu mengayunkan parangnya menghabisiku. Sesaat aku sempat merasa kelegaan dalam hatiku. Aneh tapi nyata, sepertinya aku tersenyum menghadapi kematianku. Tapi ayunan parang itu tak kunjung datang dan waktu sedetik itu berlalu lama serasa sejam bagiku. Tiba-tiba aku melihat kaki mengayun menendang perutku.. “Aaahh!” aku berteriak keras. Lalu kemudian aku merasa kepalaku dipukul benda keras. Keras sekali sehingga segala sesuatunya menjadi gelap gulita, aku pingsan.
Ketika sadar aku mendapati diriku dalam keadaan tangan terikat. Kepalaku masih pusing saat aku melihat pemandangan yang mengerikan terpampang di hadapanku. Kulihat tepat di hadapanku ibuku tergeletak dangan mata terbelalak dan perut robek. Ususnya terburai dan darahnya menggenangi lantai. Darah itu mengalir sampai membasahi kakiku. Amis baunya bercampur bau asap yang ada di mana-mana. Kupalingkan wajahku dari dirinya hanya untuk menyaksikan suatu pemandangan lain yang tidak kalah mengerikan. Irene, ciciku yang berusia 24 tahun telentang di atas meja dengan tubuh telanjang. Kedua tangannya terikat tali plastik di belakang kepalanya, sedangkan kedua kakinya mengangkang terikat di kedua kaki meja. Aku juga melihat ayahku yang pingsan terikat di kursi. Ada perasaan senang melihat sang iblis tua itu dalam keadaan tidak berdaya. Aku tidak melihat Mirna adiku yang masih kelas 3 SMA.
Di ruangan itu aku melihat sekitar 5 orang pria berbadan kekar dengan kulit hitam. Mata mereka tampak merah seperti terbius oleh sesuatu. Tiga orang dari mereka sibuk menjarah barang-barang yang ada di ruangan itu. Sementara 2 orang lagi terlihat berada di samping ciciku. Yang berambut gondrong sedang meremas-remas buah dada ciciku dengan kedua tangannya yang kasar dan berbulu lebat. Seorang lagi yang berambut cepak menghampiri ciciku sambil membuka celananya. Aku bergidik mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Ingin kupalingkan wajahku agar tidak melihat kejadian itu tapi entah mengapa urung kulakukan. Aku mendengar ciciku berteriak memohon-mohon pengampunan pada mereka. “Ampuun.. jangaan”, suaranya penuh nada ketakutan. Tubuhnya gemetar tertekan rasa teror yang nyata di depan mata.
“Diam lu amoy! diam dari pada lu mati sekarang juga”, suara parau dan kasar keluar dari mulut pria gondrong yang terus menggerayangi payudara ciciku. “Mending lu diem dan mati enak..” timpal si cepak sambil mengeluarkan kemaluannya yang hitam dan besar. Terlihat ciciku bergidik memalingkan mukanya sambil menjerit bercampur tangis, “Toloong.. ampuun.. ampuun.. toloo.. Aaauuhshh!” teriakan tolong ciciku berubah menjadi jeritan ketika si cepak menghujamkan batang kemaluannya ke dalam liang kemaluan ciciku. “Diam lu anjing!” suaranya bagai kutukan dari neraka. “Eh Min.. si amoy ini rupanya udah gak perawan!” seru si cepak pada temannya. Rupanya dia merasa kalau ciciku memang sudah bolong. Dasar pelacur! dalam hatiku mengumpat. “Udah bagus lu kagak gue bakar hidup-hidup!” si gondrong menambahkan. “Heheh.. lumayan juga nih amoy.. gue serasa ngentot sama bintang film mandarin.” Si cepak menimpali dengan nafas memburu. Dalam hati aku membenarkan ucapan si cepak. Wajah ciciku memang mirip-mirip Anita Mui (bintang film Hongkong yang main bareng Jacky Chan di film Rumble in Bronx dan Drunken Master 2) dia memang judes orangnya. Rupanya stamina si cepak cukup kuat juga.
Sekitar 5 menit dia memompa ciciku dan belum ada tanda-tanda mengendur. Malah garakannya semakin cepat, kasar dan buas. Sementara itu jeritan-jeritan histeris ciciku semakin melemah bahkan suaranya jadi erangan-erangan lirih lebih mirip orang yang dilanda kenikmatan daripada ketakutan. “Aaah.. udaah.. ampuun.. ammpuu.. aauhffssh!” wajahnya terlihat semakin merah padam karena perasaan malu terhina, takut tidak dapat membohongi kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya. Beberapa kali matanya mendelik dan badannya bergelinjang tidak sanggup menahan rasa geli yang nikmat itu.
Akhirnya ciciku terlihat menggigit bibir bawahnya dan bola matanya memutih. Kepalanya mendongak, suaranya seperti tertahan-tahan. Ciciku mendekati orgasme. “Mmmh.. hhmmph..!” sepertinya dia hendak melepas gejolak perasaanya tapi malu karena berarti dia mengakui akan kenikmatan yang diberikan pria kekar bertubuh hitam legam yang terlihat kontras di atas tubuhnya yang putih bersih itu. Si cepak juga rupanya telah mendekati klimaksnya. Dia menggerakkan pinggulnya seperti mengocok liang kemaluan ciciku hingga mejanya berderit-derit. Saat itu ciciku rupanya tidak sanggup lagi menahan kenikmatan. Hampir 2 menit dia menahan orgasmenya, kini dia tidak mampu lagi menggigit bibirnya menahan jeritan puncaknya. Matanya terpejam sampai kedua alisnya seperti bertemu. Dia masih berusaha sebisanya menahan jeritan kenikmatannya. “Uuhhssh.. uuhhss.. uuhhss!” nafasnya berat satu-satu dan suaranya mirip ibu hamil yang sedang berkontraksi.
Ciciku memang pantang menyerah. Ia tetap berusaha menahan orgasmenya sampai saat-saat terakhir. Ia tetap tidak mau mengaku kalah terhadap pemerkosanya. Ternyata hanya sesaat dia berhasil. Ketika si cepak menghujamkan tusukan terakhirnya saat batang kemaluannya dia benamkan dalam-dalam ke liang kemaluan ciciku, akhirnya cici menyerah juga. Tubuhnya mengejang, kedua telapak tangannya terkepal kuat dan kedua kakinya yang terikat di kaki meja tampak mengejang. Ujung jari-jari kakinya terlihat meregang dan kontraksi otot dari ujung kaki sampai kepalanya terlihat jelas. Satu lenguhan panjang dan dalam menandai runtuhnya pertahanan ciciku. “Uuhh.. uhh.. uhh.. sshh.. aaffsshh!” jeritnya seiring tubuh pemerkosanya mengejang dan menyemburkan mani haramnya ke dalam liang kemaluan ciciku. “Walaah.. enak tenan!” si cepak berseru dengan suara menjijikkan melepaskan kenikmatannya.
Hampir bersamaan dengan itu, terdengar suara tangis dan jeritan pilu yang kukenali sebagai suara Mirna adiku. Dia dibawa paksa dengan setengah diseret ke ruangan ini oleh seorang pria bertubuh gendut brewokan. “Man.. dapat satu lagi nih.. dia rupanya ngumpet di gudang dari tadi”, seru si brewok kepada si cepak yang sepertinya pemimpin mereka. Pakaian Mirna terlihat compang-camping pertanda dia mengadakan perlawanan. “Wah daun muda nih.. pasti masih perawan!” seru si gondrong. “Kagak kayak kakaknya yang udah bolong.. puihh!!” si cepak berkata mengumpat sambil meludahi tubuh ciciku yang tergolek lunglai. Darahku terasa panas membara melihat perlakuan itu. Saat itu aku agak merasa iba pada saudari-saudariku. Sejenak melupakan kebencianku pada mereka. Mirna begitu melihat ciciku langsung histeris dan menubruk tubuh ciciku. Segera sepasang tangan kasar si brewok merenggut kembali tubuh adikku.
Saat itu ayahku siuman dari pingsannya. Aku baru memperhatikan ada darah segar menetes deras dari belakang badannya yang duduk terikat di kursi. Rupanya dia terluka dan sekarat karena kehabisan darah. “Ampuun bapak-bapak.. jangan ganggu kami lagi.. nanti gue kasih uang banyak buat lu orang”, suaranya kembali terdengar pongah di telingaku. Sejak tadi aku tidak diperhatikan lagi oleh para penjarah itu. Aku disangka masih dalam keadaan pingsan. Tapi dari posisi ayahku yang duduk berhadapan ke arahku terlihat jelas kalau aku sudah siuman. “Diam lu anjing.. ini emang hari naas lu!” seru si cepak sambil menaikkan kakinya ke dada ayah. Saat itu tatapanku bertemu dengan tatapan ayahku. Sejenak aku berharap disaat seperti ini dia akan menatapku dengan penuh rasa penyesalan atau setidaknya di ujung maut dia bersikap baik kepadaku walau untuk terakhir kalinya. Tapi apa yang kuterima adalah tatapan penuh kebencian yang seakan menyalahkanku.
Mulutnya bergumam seperti mengutukku. Tiba-tiba aku merasa gelap menutupi mataku, kebencian kembali bangkit tak tertahankan bagaikan orgasme yang tidak bisa di surutkan kembali. Tiba-tiba aku bangkit dan tanpa sadar aku berteriak-teriak histeris sambil berlari ke arahnya dalam keadaan tangan terikat. “Semuanya salah luu, semuanya salah luu!” aku tak terkendali lagi. “Kalau luu mau dengar kata orang-orang musti ngungsi.. kita selamat.. Mama nggak matii!” aku berteriak histeris sambil menubruk tubuhnya. Para penjarah sesaat terpaku melihatku yang histeris. “Bruuk!” kutabrak ayahku dan kita berdua jatuh di lantai yang sudah tergenang darahnya. Kurasakan tangan-tangan yang kuat menarikku dan menghujamkan kepalan ke wajahku berkali-kali.
“Walah yang ini kalap!”
“Hei anjing, diam lo atau gue sembelih nih!”
Kudengar suara-suara membentak dan sebuah parang mengkilat di tempelkan di leherku. Kembali lagi kematian terasa begitu dekat, bahkan aku merasa maut tersenyum padaku. Bagai di tarik ke dunia lain, aku dapat mencium aroma kematian secara jelas, bahkan dapat kuraba dengan tanganku.
Setengah sadar aku tetap berteriak-teriak histeris manyalahkan ayahku tanpa menghiraukan parang yang siap merobek leherku. Aku seperti mendengar salah seorang penjarah berkata, “Wah si babi ini kesurupan kali.. lepasin aja dan biar dia yang matiin si bandot tua ini.” Setelah itu ikatanku dilepas. “Tuh lu bunuh aja babe lu!” Suara itu terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak yakin itu suara salah satu dari penjarah atau suara dari dalam diriku sendiri. Kuhampiri ayahku dan sambil menangis histeris, berlutut di depannya. “Papa.. apa salah Kevin selama ini.. apa salah Keviin!” ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Tiba-tiba tak kuhiraukan situasi yang sedang terjadi di rumahku. Yang aku tahu adalah kematian sudah berada di sisiku dan satu-satunya yang ingin kulakukan adalah meminta penjelasan yang terakhir kali dari ayahku mengapa aku mendapat perlakuan yang menyiksa fisik dan batinku selama ini. Alangkah kagetnya aku ketika ayah menatapku tajam dan dengan penuh kebencian berkata, “Kamu bukan darah dagingku! kamu anak haraam! anak siaal.. kamu bawa sial buat keluarga ini! pergi lu ke nerakaa!” Terlepas sudah semua bebanku selama ini mendengar kutukan itu. Aku memang sudah mati. Dan sekarang sudah berada di neraka, saat ini kematian tidak hanya dekat tapi sudah menggenggam erat tanganku. Iya di tanganku sekarang ada kematian. Segala dendam dan murka tertumpah di saat itu juga. Entah dirasuki apa aku saat itu sehingga tiba-tiba segalanya berjalan seperti slow motion. Aku merasa tubuhku bergerak cepat merebut parang yang dipegang si gondrong lalu segera mengayunkan parang tersebut ke arah ayahku! Aku merasa berkali-kali aku hujamkan parang merobek-robek tubuh ayahku, si iblis tua yang pongah itu.
Selanjutnya aku seperti setengah sadar bergerak kalap megayunkan parang ke arah para penjarah itu. Si brewok adalah yang pertama roboh. Lehernya kurobek sebelum dia sempat mencabut cluritnya. Kemudian kulihat si cepak menyerangku dengan parangnya tapi bagiku segalanya terlihat bagai dalam film gerak lambat. Dengan mudah kuhindari sabetan parangnya, lalu dengan penuh amarah aku mambacok kepalanya. Darah bercampur cairan putih muncrat dari ubun-ubunnya saat aku belah dengan parang! Aku agak tersadar ketika melihat si gondrong dengan belatinya mengiris leher Mirna adiku. Aku terdiam ketika darahnya muncrat ke tembok, lalu tubuhnya roboh ke lantai dengan mata terbelalak. Aku bahkan belum bereaksi ketika si gondrong menyerangku dengan belatinya.
Tiba-tiba kesadaranku seperti terenggut kembali dan tubuhku bergerak menghindari hujaman belatinya sehingga hanya melukai pundak sebelah kananku. Si gondrong tersungkur karena kehilangan keseimbangan. Kujambak rambut gondrongnya, lalu.. “Kematian telah menggenggam tanganku, di tanganku ada kematian!” aku bergumam tanpa sadar. Masih kudengar si gondrong memohon ampun padaku tapi tanganku segera mengayunkan parang dengan cepat. Sedetik kemudian aku berdiri dengan parang penuh darah di tangan kananku dan menenteng kepala manusia di tangan kiriku, Darah! Maut!
Kesadaranku kembali pulih dan mataku menyalang menatap sekeliling. Rupanya teman-teman penjarah tadi sudah pergi mambawa barang jarahannya. Aku melihat tubuh ayahku tergeletak penuh lubang menganga lalu Mirna adiku mati dengan leher nyaris putus kemudian ibuku tergeletak membelalak dengan usus terburai, dua tubuh penjarah dengan luka bacok serta seorang penjarah yang tewas dengan kepala putus. Darah di mana-mana, di lantai, di tembok, bahkan di atas tubuh telanjang ciciku. Kubuang parang di tanganku lalu menghampiri ciciku yang masih terikat bugil di atas meja. Dia saksi dari apa yang telah kuperbuat di sini. Dia menatapku dingin, dia seperti melihat orang asing. Ada sebersit rasa takut di matanya. “Kevin apa yang kamu lakukan!” suaranya kosong. “Kenapa kamu bunuh Papa!” dia berucap dingin seperti tidak benar-benar berniat mengucapkan kata itu. Sejenak aku memandang wajahnya lekat, ciciku memalingkan wajahnya dariku sambil berucap pelan, “Pembunuh!”. Aku tidak menghiraukan ucapannya karena tiba-tiba aku jadi memperhatikan tubuh telanjangnya yang tergolek telentang di depanku. Hatiku berkata untuk menuntaskan semua dendamku. Ayah, ibu, adiku telah tewas demikian juga para penjarah yang menodai ciciku dan menghancurkan keluargaku, semuanya telah kubunuh. Tinggal Irene ciciku di sini. Ah sekalian saja aku merebut kemenangan yang sempurna hari ini, bisik naluriku.
“Kevin lepasin cici”, suara ciciku masih gemetaran karena masih shock akan kejadian tadi. Aku pun heran karena dia cukup tegar untuk orang yang baru mengalami penyiksaan dan teror. “Cepat lepasin Kev!” ciciku mengulangi perintahnya, kali ini lebih keras suaranya. Tubuh telanjangnya telah mambiusku. Aku segera mencopot celana dan celana dalamku dengan cepat. “Keviin!” Irene memekik. “Mau ngapain kamu?” cici terkesiap melihat batang kemaluanku yang sudah berdiri tegak. Mungkin punyaku tidak sebesar batang kemaluan pemerkosa tadi tapi ciciku pasti kaget dan tidak menyangka kalau batang kemaluanku yang waktu masih kecil biasa dilihatnya hanya sebesar jempol tangannya, kini besar dan kokoh. (batang kemaluanku panjanganya 15 cm). Kusentuh payudaranya dengan kedua tanganku, rasanya dingin bagai seonggok daging.
“Keviin gila luu yah!” Aku merasakan sensasi aneh melihat payudara dan liang kemaluan ciciku. Jelas beda dengan waktu-waktu dulu kalau lihat dia ganti baju di kamarnya. Sekarang aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Terus terang jeritan ciciku saat orgasme serta gerak tubuhnya yang mengejang membuatku memandangnya tidak sebagai kakak atau darah dagingku lagi. Di hadapanku telentang seorang wanita yang aku benci dan kebetulan lahir dari rahim yang sama denganku. Saat ini dia sedang telentang telanjang bulat. “Keviin, setaan luu, gua khan cici lu..!” Suaranya judes dan kasar seperti biasanya. Aku menyentuh liang kemaluannya dengan tanganku. Rasanya ya seperti liang kemaluan wanita pada umumnya. Lalu kumasukan jari tengahku ke liang kemaluannya yang masih hangat dan basah itu. Iya betul! sama seperti liang kemaluan wanita yang lain. “Ahh Keviin gilaa luu!” Kujilat jari tengahku mencicipi serta mencium aroma liang kemaluannya. Betul nggak ada bedanya sama liang kemaluan wanita-wanita yang pernah kutiduri sebelumnya.
Segera kuletakkan batang kemaluanku di gerbang liang kemaluan Irene. “Keviin jangaan!” ciciku memohon-mohon padaku. “Diam.. cerewet!” aku menjawab dengan sembarangan. Sekali batang kemaluanku kudorong ke depan, tubuhku sudah menjadi satu dengan tubuh kakakku. “Iiih.. setaan lu Keviin!” cici mengumpat tapi ada nada kegelian dari suaranya itu. Aku menggoyangkan pinggangku secara liar hingga batang kemaluanku mengocok-kocok liang kemaluannya. “Ahh.. shiit! ah shiit! Kevin stop!” Semakin dia mamaki dan mengumpatku dengan ekspresi judesnya itu, semakin terangsang aku jadinya.
Sekarang aku ingin membalas semua perbuatan ciciku padaku selama ini dengan membuatnya takluk dalam orgasme dan mengakui kenikmatan yang kuberikan padanya. Sambil memompa liang kemaluannya aku menghisap puting-puting payudaranya yang agak berwarna pink itu. “Mmmh.. udah jangan Kevin!” Irene masih berteriak-teriak memintaku berhenti. “Cici diam aja jangan banyak ngomong”, ujarku cuek. “Ohh shiit!” ujarnya mengumpat. Kakak menatapku dengan tatapan yang bercampur antara kemarahan dan kegelian yang ditahan. Sejenak aku menghentikan gerakanku. Kasihan juga aku melihatnya terikat seperti ini. Dengan menggunakan belati yang tergeletak di lantai aku memotong tali yang mengikat kedua kakinya. Begitu kedua kakinya terlepas ciciku sempat berontak. Tapi apa dayanya dengan posisi telentang dengan tangan masih terikat di belakang kepalanya. Belum lagi posisiku yang sudah mantap di antara kedua kakinya membuat dia hanya bisa meronta-ronta dan kakinya menendang-nendang tanpa hasil. “Aaahh Kevin stop dong.. udah Kev.. gue khan cici lu”, kakakku memohon lagi tapi kali ini suaranya tidak kasar lagi dan terdengar mulai berdesah karena geli. Nafasnya pun mulai memburu. Aku menjilati lehernya dia melengos ke kiri dan ke kanan tapi wajahnya mulai tidak mampu menutupi rasa geli dan nikmat yang kuciptakan. ” Aduhh sshh Keviin udah doong.. hh.. ssh!” suaranya memohon tapi makin terdengar mendesah lirih. Kedua kakinya masih meronta menendang-nendang tapi kian lemah dan tendangannya bukan karena berontak melainkan menahan rasa geli dan nikmat.
Aku menaikkan tempo dalam memompa liang kemaluan kakakku sehingga tubuhnya semakin bergetar setiap kali batang kemaluanku menusuk ke dalam liang kemaluannya yang hangat berulir serta kian basah oleh cairan kenikmatannya yang makin membanjir itu. Kali ini suara nafas ciciku kian berat dan memburu, “Uh.. uh.. uhhffssh.. siiaalaan lu Kevii.. agh uuffsshh u.. uhh!” Wajah ciciku semakin memerah, sesekali dia memejamkan matanya sehingga kedua alisnya seperti bertemu. Tapi tiap kali dia begitu atau saat dia merintih nikmat, selalu wajahnya dipalingkan dariku. Pasti dia malu padaku. Liang kemaluannya mulai mengeras seperti memijit batang kemaluanku. Pantatnya mulai bergerak naik turun mengimbangi gerakan batang kemaluanku keluar masuk liang kenikmatannya yang sudah basah total. Saat itu aku berbisik “Gimana, Cici mau udahan?” Aku menggodanya. Sambil mengatur pernafasan dan dengan ekspresi yang sengaja dibuat serius, kakakku berkata, “I.. iiya.. udah.. han yah Kevin”, suaranya dibuat setegas mungkin tapi matanya yang sudah sangat sayu itu tidak dapat berbohong kalau dia sudah sangat menikmati permainanku ini. “Masa?” godaku lagi sambil tetap batang kemaluanku memompa liang kemaluannya yang semakin basah sampai mengeluarkan suara agak berdecak-decak. “Bener nih Cici mau udahan?” godaku lagi. Tampak wajahnya yang merah padam penuh dengan peluh, nafasnya berat terasa menerpa wajahku. “Jawab dong, mau udahan gak?” aku menggodanya lagi sambil tetap menghujamkan batang kemaluanku ke liang kemaluannya.
Sadar aku sudah berkali-kali bertanya itu, ciciku dengan gugup berusaha menarik nafas panjang dan menggigit bibir bagian bawahnya berusaha mengendalikan nafasnya yang sudah ngos-ngosan dan menjawab, “Mmm.. iya.. hmm.” Aku tiba-tiba menghentikan gerakan naik turunku yang semakin cepat tadi. Ternyata gerakan pantat ciciku tetap naik turun, tak sanggup dihentikannya. Soalnya liang kemaluannya sudah semakin berdenyut dan menggigit batang kemaluanku. “Ehmm!” ciciku terkejut hingga mengerang singkat tapi tubuhnya secara otomatis tetap menagih dengan gerakan pantatnya naik turun. Ketika aku bergerak seperti menarik batang kemaluanku keluar dari liang kemaluannya, secara refleks tanpa disadari oleh kakakku, kedua kakinya yang tadinya menendang-nendang pelan, tiba-tiba disilangkan sehingga melingkar di pinggangku seperti tidak ingin batang kemaluanku lepas dari lubang kemaluannya.
“Lho katanya udahan”, kata-kataku membuat ciciku tidak mampu berpura-pura lagi. Mukanya mendadak merah padam dan setengah tersipu dia berbisik, “Ah setan lu Kevin.. uhh.. uhh.. swear enak banget.. pleasee dong terusiin yeeass!” belum selesai ia berkata aku langsung kembali menggenjotnya sehingga ia langsung melenguh panjang. Rupanya perasaan malunya telah ditelan kenikmatan yang sengaja kuberikan kepadanya. “Ah iya.. iiya.. di situ mmhh aah!” tanpa sungkan-sungkan lagi cici mengekspresikan kenikmatannya. Selama 15 menit berikutnya aku dan ciciku masih bertempur sengit. Tiga kali dia orgasme dan yang terakhir betul-betul dahsyat kerena bersamaan dengan saat aku ejakulasi. Spermaku menyemprot kencang sekali bertemu dengan semburan-semburan cairan kenikmatan ciciku yang membanjir. Cici pasti melihat wajahku yang menyeringai sambil tersenyum puas. Senyum kemenangan. Ah hari yang sempurna bagiku. Aku merasa seakan-akan dipenuhi energi yang luar biasa sehingga aku sanggup melakukan apa saja.
Seiring berlalunya kenikmatan itu aku mulai sadar akan ruangan lantai atas rumahku yang penuh darah serta mayat-mayat bergelimpangan. Aku melepaskan ikatan tangan ciciku. Dia kemudian duduk di atas meja. Sesaat dia seperti berusaha menyatukan pikirannya yang tercerai-berai karena rentetan teror dan kengerian yang baru saja dia alami. Kemudian dia bangkit dengan tubuh yang lemah akibat shock serta hubungan seks yang beruntun, yang masih tersisa nikmatnya. Dia memungut dasternya yang sudah robek di sana-sini kemudian dia kenakan. Irene sempat meratapi mayat ibu dan adikku. Kulihat ekspresi wajahnya dingin sedingin ekspresi tubuh-tubuh tanpa nyawa di sekeliling kami. Dia melangkah mendekati mayat ayah yang penuh luka dan darah lalu tiba-tiba mengeluarkan sumpah serapah yang mengagetkanku. Sepertinya dia juga memendam kebencian terhadap ayah yang mengalahkan kesedihannya saat ini. Sungguh tidak terlukiskan ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya mengutuki jasad kaku di depannya itu.
Aku terkejut karena kebenciannya ternyata hampir sebesar kebencianku. Kubiarkan dia terus mengumpat. Sepertinya aku sudah tidak peduli apa-apa lagi saat itu. Kita berdua sebenarnya tidak lebih hidup daripada orang-orang mati di sekeliling kita. Puas menyumpahi ayah, cici membalikkan badannya ke arahku. Sempat bergidik aku melihat ekspresinya. Matanya dingin dan kosong di atas wajah pucat pasi. Segaris senyum dingin dan kejam menghiasi wajahnya yang terdapat bekas cipratan darah. Dasternya compang-camping juga penuh cipratan darah serta kedua lengannya juga berlumuran darah. Dia lebih mirip mayat hidup atau kuntilanak daripada wanita hidup. Senyumnya menandakan kepuasan serta kemenangan. Dia berucap dingin, “Terima kasih Kev.. dia memang pantas mati.” Lalu dia menjatuhkan tubuhnya lemas ke atas sofa. Aku pun duduk di sampingnya. Tidak tahu yang harus diperbuat. “Kenapa?” aku bertanya.
Irene kemudian menceritakan apa saja yang juga menimpanya selama ini. Juga penyebab kepahitanku yang belum pernah aku ketahui sampai saat itu. Rupanya ayahku mendapatkan semua kekayaannya dengan membuat perjanjian dengan iblis. Itu terjadi saat ibu sedang mangandung diriku. Salah satu syaratnya adalah bahwa bayi yang dikandung ibuku adalah milik setan dan harus dipelihara. Aku adalah tempat di mana semua kesialan dan ketidakberuntungan ayahku harus dibuang. Karena menurut kepercayaan, setan dalam diriku akan menelan semua amarah dan energi negatif di keluargaku sehingga semakin aku disakiti semakin banyak makanan buat si iblis dan secara otomatis menghilangkan semua kemalangan di keluargaku. Aku pun dikatakan akan menjadi tumbal di mana suatu saat si iblis akan mengambil nyawaku sebagai imbalan atas kekayaan yang diberikannya pada keluargaku.
Petaka datang ketika kakak laki-laki tertuaku meninggal. Saat itu ayah percaya bahwa seharusnya akulah yang harus mati tetapi roh dalam diriku berhasil menipu iblis pencabut nyawa dengan menukar jiwaku dengan jiwa kakakku. Semua keluargaku tahu hal itu kecuali aku. Sengaja mereka merahasiakan itu dariku sehingga aku tidak pernah tahu alasan kepahitan yang melandaku sampai saat ini. Cici juga menceritakan perlakuan ayahku pada dia dan adiku Mirna yang sadis. Berulang kali dia memperkosa mereka. Ayah mengatakan bahwa itu adalah cara agar putri-putrinya terlindung dari pengaruh jahat diriku yang kata ayah selalu berusaha mengambil jiwa mereka sama seperti yang kulakukan terhadap putra tertuanya. Hal ini sekaligus makin menambah kebencian mereka terhadapku. Cici menceritakan semua itu bagai robot tanpa ekspresi dan tatapan mata kosong. Itu adalah jawaban dari pertanyaan yang selalu kutanyakan selama hidupku sampai saat itu. Ironisnya aku merasa bahwa segala kepahitanku berawal dari hal terkonyol yang pernah kudengar yaitu syarat yang harus dilakukan agar kaya raya. Aku tak habis pikir bagaimana mungkin dalam zaman modern seperti ini ayahku masih mau mendengarkan klenik konyol dan bodoh itu. Akhirnya adalah suatu proses penyiksaan batin dan fisik buatku, Juga buat saudari-saudari perempuanku. Aku lebih menerima kalau itu dilakukan karena nafsu semata daripada hal-hal klenik seperti itu. Yah memang ada benarnya juga, nafsu akan kemewahaan ibuku dan nafsu kekuasaan serta kebinatangan ayahku adalah penyebab semua ini.
Malam itu aku dan ciciku tidak berani keluar rumah karena di luar masih terdengar hiruk-pikuk massa yang mengamuk lalu lalang di depan rumah kami. Baru menjelang subuh aku menuntun ciciku keluar rumah setelah sebelumnya menyiram rumah kami dengan bensin dan membakar semuanya. Biarlah segalanya hangus dalam bara api dan asap hingga bersamaan dengan itu musnah pula segala kenangan dan jati diri kami yang penuh dengan kengerian dan kepahitan selama bertahun-tahun. Jauh melebihi kengerian yang terjadi pada malam itu. Aku dan Irene harus bersusah payah melewati puing-puing, sisa-sisa mobil yang terbakar dan barikade-barikade kawat berduri sampai akhirnya kami ditolong oleh warga yang sedang meronda subuh itu.
Aku dan ciciku menolak bercerita terhadap siapa pun mengenai kejadian yang kami alami malam itu. Cici mengalami trauma akibat shock berat dan harus dirawat selama beberapa bulan. Selama itu dia tidak pernah berbicara pada siapapun kecuali padaku. Aku pun memilih dianggap sakit dan trauma sehingga tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari banyak sekali pihak yang ingin mengorek informasi tentang kejadian malam itu. Itu terjadi tiga tahun yang lalu, sekarang aku tinggal di sebuah apartemen di daerah Casablanca bersama Irene ciciku. Kekayaan ayahku lebih dari cukup untuk menghidupi kita berdua. Persoalan mengurus bisnis, aku serahkan pada seorang pamanku yang dapat kupercaya.
Selama tiga tahun terakhir aku menjalankan hidupku untuk memenuhi semua kebutuhan hasratku. Dan dari semua itu keindahan merupakan sesuatu yang selalu menarik hasratku. Kutemukan itu saat menggumuli tubuh kakakku tiga tahun lalu, kutemui keindahan itu dalam tiap rintihan, maupun jeritan nikmat wanita yang sedang orgasme. Juga dapat kutemukan dalam erangan tanpa daya seseorang yang menghadapi maut, bahkan dalam bau amis darah sekalipun. Akan tetapi di atas semua itu keindahan yang paling sempurna adalah disaat kematian itu terasa dekat, di saat maut dapat diraba, di saat aroma kematian memenuhi penciuman atau di saat maut tersenyum kepadaku, menggenggam mesra tanganku. Ya, betul di tanganku maut akan selalu tinggal dan berdiam. Kevin Lim si anak sial itu telah mati tiga tahun lalu saat tangannya mengayunkan parang mencincang tubuh ayahnya. Kevin Lim juga sudah mati saat ia menyetubuhi cicinya dan saat dia ejakulasi di atas tubuh cicinya yang menggelinjang karena orgasme. Kevin Lim bahkan tidak pernah ada. Aku adalah Kevin.., Kevin Demonic karena kejahatan telah menemukan peraduannya dalam diriku.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT